Latest News

Thursday, 19 June 2014

A Midsummer Night’s Dream

 
A Midsummer Night’s Dream

Terus terang, baru kali aku mencoba membaca karya drama William Shakespeare. Dan menuruti anjuran beberapa teman, aku akhirnya memilih membaca versi e-book, karena e-book menyediakan semacam thesaurus yang otmatis muncul ketika kita mengarahkan cursor ke kata tertentu. Dan memang benar, tak pernah aku menyelesaikan satu halaman pun tanpa membuka thesaurus, dengan kata lain ada begitu banyak kata ‘asing’ yang kutemui. Kadang-kadang bahkan thesaurus pun tak mendeteksi suatu kata, dan aku harus mencarinya di glossary khusus karya-karya Shakespeare di Shakespeare Glossary. Namun ternyata pengalamanku membaca Shakespeare justru membuatku ingin membaca lebih banyak lagi karyanya.
A Midsummer Night’s Dream ini adalah salah satu karya Shakespeare yang terbanyak difilmkan maupun dimainkan di atas panggung. Karya ini masuk genre komedi (genre yang kupikir pasti lebih ringan daripada sejarah maupun tragedi). Kisahnya dibuka dengan suasana di kerajaan Athens yang sedang bersukacita menantikan pesta pernikahan raja dan ratu mereka: King Theseus dan Queen Hyppollyta. Di tengah semarak persiapan itu, datanglah Egeus menghadap untuk mengadukan persoalan pelik. Putrinya Hermia yang telah dipersiapkannya untuk dinikahkan dengan pemuda bernama Demetrius, ternyata lebih mencintai pemuda lainnya yang bernama Lysander. Egeus malah mengharuskan Hermia untuk memilih antara menikah dengan Demetrius atau mati. King Theseus akhirnya memberikan waktu bagi Hermia untuk berpikir, dan harus member keputusan saat pernikahan sang Raja.
Ingin terbebas dari hukum yang mereka anggap kejam, Hermia dan Lysander berencana untuk melarikan diri ke hutan tempat tinggal bibi Lysander, di mana mereka dapat menikah dengan bebas. Sementara itu, ada seorang gadis bernama Helena yang amat mencintai Demetrius, padahal sang pria mencintai Hermia. Ketika Lysander dan Hermia membocorkan rencana pelarian mereka pada Helena, segera Helena berketetapan hati untuk memberitahu Demetrius, agar Demetrius segera mengejar ke hutan. Di sana—harap Helena—mungkin saja Demetrius akan mengalihkan cinta kepada dirinya. Maka dimulailah petualangan empat tokoh kita di hutan dekat Athens.
Sementara itu di hutan, Raja kaum peri: Oberon sedang resah karena keinginannya tak dikabulkan oleh Ratu Titania. Maka Oberon menyuruh asistennya yaitu Puck untuk mencari serbuk bunga tertentu yang—bila dibuat ramuan—akan membuat orang yang terkena tidur lelap, dan akan jatuh cinta pada orang yang pertama ia lihat ketika bangun. Oberon ingin ‘mengerjai’ istrinya agar menuruti keinginannya. Berangkatlah Puck mencari bunga itu, dan begitu mendapatkannya, Oberon mengoleskannya di pelupuk mata Titania ketika tidur. Sementara itu Oberon mendengar pertengkaran antara Helena—yang ngotot mengekor pada Demetrius, dan Demetrius—yang merasa terganggu dan berusaha mengusir Helena. Oberon pun menyuruh Puck mengoleskan ‘ramuan cinta’ yang sama ke mata si “pria berbusana Athens”, agar mereka berdua menjadi pasangan.
Malangnya si Puck ‘salah alamat’, alih-alih mengoleskan ramuan cinta ke mata Demetrius, ia membubuhkannya ke mata Lysander—yang sama-sama berbusana khas Athens. Dari sini anda akan dapat membayangkan betapa akan kacau dan ironisnya kisah cinta tokoh-tokoh kita ini nantinya gara-gara ramuan cinta itu. Dan kekocakan akan bertambah ketika masuk tokoh-tokoh lain, yaitu para sekelompok pekerja  yang ingin menampilkan sebuah drama pada pesta pernikahan Theseus dan Hyppollyta. Kelucuan timbul saat mereka berebut memerankan tokoh yang mana, dan lebih lucu lagi waktu mereka benar-benar menampilkannya. Meski begitu di kisah utamanya sendiri kadang terselip dialog yang membuat kita tersenyum, misalnya:



“Lysander: You have her fathers love, Demetrius (memang Egeus menyukai Demetrius)
Demetrius: Let me have Hermias; do you marry him.”  


Meski tampaknya tak serius, ada beberapa hal yang tersirat dari drama ini. Shakespeare ingin menyoroti ironisnya cinta. Saat ada dua pemuda dan dua pemudi, bukannya mereka saling berpasangan, namun ternyata ada satu wanita yang dicintai dua pria, dan wanita yang satu lagi tak menerima cinta dari siapa pun. Aku juga melihat kecenderungan wanita yang menganggap pria mencintai wanita hanya karena fisik semata. Dan ketika si wanita mengharap cinta si pria dan tak mendapatkannya, ia pun mulai menyalahkan diri sendiri yang secara fisik kurang menarik disbanding saingannya. Hal ini nampak pada tokoh Helena, yang dialognya diwarnai kegetiran dan cenderung membuat dirinya sendiri jauh lebih rendah daripada Hermia karena cemburu dan iri.



"Happy is Hermia, wheresoeer she lies,
For she hath blessed and attractive eyes.
How came her eyes so bright? Not with salt tears;
If so, my eyes are oftener washd than hers.
No, no, I am as ugly as a bear;
For beasts that meet me run away for fear;
Therefore no marvel though Demetrius
Do, as a monster, fly my presence thus.
What wicked and dissembling glass of mine
Made me compare with Hermias sphery eyne?"



Itulah salah satu contoh dialog ‘galau’ Helena. Contoh bagaimana cinta membuat manusia kadang menjadi buta dan irasional. Bagiku pribadi, itulah yang kudapat dari drama ini. Mungkin ada filosofi lain yang terselip di sana-sini, namun aku hanya berhasil menemukan apa yang telah kutulis ini saja. Semoga kali berikutnya aku akan dapat lebih memahami sekaligus menikmati drama karya Shakespeare.
Tiga bintang untuk A Midsummer Night’s Dream.
Judul: A Midsummer Night’s Dream
Penulis: William Shakespeare
Format: e-book
Penerbit: eshelf Books

e-pages: 63 hlm


Conclusion:
This is the first time I read Shakespeare's play, and frankly speaking I cannot say I enjoyed it very much. First of all, there are several 'strange' words that even did not appear in my Kindle's dictionary. Other than the language (maybe I'm just not familiar with play's language), I found the story is not quite engaging. I can feel the beauty of this play..oh yes, but that's it, nothing more. So I guess I'd just give three stars for A Midsummer Night's Dream. After all, I don't quite like comedy play, so next time I might choose history or even tragedy when I have another mood to read Shakespeare again. What do you think?

Doctor Zhivago

Nama yang menjadi judul buku ini merupakan sisa-sisa kenangan masa kecilku. Entah pada usia berapa, aku ingat pernah diajak menonton bioskop oleh kedua orangtuaku. Ingatan samar-samarku hanya berisi judul film itu—Doctor Zhivago, tokoh utama prianya yang berkumis tebal (kelak aku tahu pemerannya adalah Omar Sharif), dan adegan—entah awal atau akhir film—seseorang berlari di tengah kemuningnya ladang. Yang paling jelas kuingat justru theme song film ini, yakni lagu Somewhere My Love. Setelah aku dewasa, aku baru mengetahui bahwa film Doctor Zhivago diambil dari sebuah buku yang ditulis Boris Pasternak. Dan kini, lebih dari 30 tahun setelah nonton film itu, barulah aku memiliki kesempatan untuk membaca bukunya.

Doctor Zhivago bersetting di Rusia pada awal abad 20, tepatnya setelah Perang Dunia I. Kisah dibuka dengan sebuah pemakaman. Saat itu Zhivago kecil menjadi yatim piatu setelah ibunya meninggal, sementara ayahnya sudah lebih dulu tiada. Yura—panggilan Zhivago kecil—kemudian diantar oleh pamannya menuju kediaman orang tua angkatnya: keluarga Gromeko. Kemudian kisah berpindah ke sudut pandang seorang bocah teman sekolah Yura yang bernama Misha Gordon. Misha sedang mengingat-ingat kejadian tragis bunuh dirinya seorang pria di kereta api yang ia tumpangi bersama keluarganya. Ternyata pria itu adalah seorang pengusaha bernama Zhivago, yang tak lain dan tak bukan ayah si Yura kecil.

Dari kedua intro itu, kita bisa mulai mengenal gaya bertutur Boris Pasternak. Ia bercerita dari sudut pandang banyak orang, kadang berupa dialog panjang, kadang narasi. Di tiap bab kita akan dihadapkan pada berbagai pertanyaan. Seolah-olah ada begitu banyak kepingan-kepingan puzzle yang tak beraturan dan tak berhubungan. Dan semuanya itu ia jalin sedemikian rupa hingga pelan-pelan terjawablah semua pertanyaan dan terbangunlah sebuah kisah yang menawan.

Kembali ke kisah awal, selain Yura dan Misha, kita pun diperkenalkan pada beberapa tokoh penting lainnya. Ada Tonia (putri keluarga Gromeko) yang kelak menikah dengan Yura—menjadi Yurii Zhivago setelah dewasa. Lalu Lara (Larisa Feodorovna—nama yang cantik bukan?) gadis cantik yang terlalu cepat dewasa dan terlibat affair dengan pengacara keluarga dan pacar ibunya: Komarovsky. Ada juga Pasha, pemuda yang juga tinggal di rumah keluarga di mana Lara tinggal. Lara akhirnya menikahi Pasha dalam kekalutannya akibat hubungannya dengan Komarovsky.

Awalnya kisah mereka tampak tak berhubungan, baru di bab 2 lah Pasternak “mempertemukan” mereka semua dalam sebuah insiden. Setelah itu pecahlah revolusi di Petersburg—yang menurunkan Tsar—dan dimulailah perubahan besar-besaran bagi rakyat Rusia, yang diwakili oleh tokoh-tokoh kita. Melalui mereka semua, kita bisa melihat bagaimana rakyat yang tak bersalah mau tak mau terseret dalam arus perubahan yang dibawa kelompok-kelompok radikal. Bukan saja menjadi miskin secara fisik, namun perang juga memporak-porandakan keluarga.

Pasha bergabung dengan militer karena kecewa dengan perkawinannya. Yurii telah menjadi dokter dan bertugas di Medical Unit. Saat istrinya tengah melahirkan di rumah sakit, Yurii terkena ledakan. Dan ketika siuman, ia dipertemukan dengan Lara yang bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit di mana Yurii dirawat. Di titik ini cinta pun tumbuh. Yurii yang sudah sejak kecil memuja Lara meski tetap setia pada Tonia, dan Lara yang mendengar isu bahwa Pasha telah tewas dan baru menyadari bahwa ia tak sepenuhnya mencintai Pasha.

Dari curahan hati Yurii kepada Lara sebelum mereka berpisah, kita dapat memahami apa yang dialami manusia saat perang, yaitu bahwa mereka mau tak mau telah berubah (atau dipaksa berubah oleh perang). Yurii kembali ke Moskow karena tak tahan dengan revolusi, mencoba untuk menemukan kembali hidupnya yang lama bersama Tonia dan putranya: Sasha. Ternyata saat itulah Sovyet akhirnya menguasai Rusia, dan di musim dingin yang tak bersahabat, bencana kemiskinan menghadang. Keluarga Zhivago pun memutuskan untuk pindah ke sebuah kota kecil Varykino.

Akankah Yurii, sang doctor Zhivago mampu menyelamatkan keluarganya? Dapatkah ia--yang telah berubah dalam pribadi dan pemikiran--menjalani kembali hidup yang sama seperti sebelum perang? Bagaimana dengan cintanya yang terbagi antara Tonia dan Lara? Mengapa sebenarnya Yurii mencintai Lara? Dan bagaimana dengan nasib Lara sendiri? Dengan amat perlahan Boris Pastermak akan membawa anda menemukan jawaban-jawabannya, sampai pada akhir kisah ini, yang boleh dibilang tragis namun indah.

Lewat Doctor Zhivago, Pasternak hendak menyoroti efek-efek negatif perubahan yang sedang terjadi di negara Rusia. Seperti kita ketahui, begitu Perang Dunia I usai, kaum proletarian menggulingkan rezim Tsar. Pemerintahan monarki pun tumbang, namun dalam gejolak saat itu—saat di mana belum jelas siapa yang akan berkuasa—seluruh rakyat Rusia turut menderita dalam jungkir baliknya kondisi negara.

“All customs and traditions, all our way of life, everything to do with home and order, has crumbled into dust in the general upheaval and reorganization of society. The whole human way of life has been destroyed and ruined.” ~hlm. 421 (Lara)

“The war is to blame for everything, for all the misfortunes that followed and that hound our generation to this day.” ~hlm. 422 (Lara).

Doctor Zhivago adalah kisah tentang percintaan dan tragedi yang dihadapi manusia. Namun jangan membayangkan nuansa gelap selalu menaungi kisah ini, karena dengan lihainya Pasternak menghujani kita dengan metafora-metafora indah di sepanjang buku ini. Metafora itu membuat hal-hal nan sederhana menjadi terasa begitu indah. Aku kutip beberapa agar anda bisa merasakan sedikit keindahan yang membuatku jatuh cinta pada buku ini!

“It was a clear, frosty autumn night. Thin sheets of ice crumbled under his steps. The sky, shining with stars, threw a pale blue flicker like the flame of burning alcohol over the black earth with its clumps of frozen mud.” ~hlm. 113.
“In the foreshortened view from the bunk it looked as if the train were actually gliding on the water. Only here and there was its smoothness broken by streaks of a metallic blue, but over all the rest of its surface the hot morning sun was chasing glassy patches of light as smooth and oily as melted butter that a cook brushes with a feather on a pie crust.” ~hlm. 246.

Bisakah anda membayangkan pemandangan yang melahirkan untaian kalimat seindah itu? Itulah sebabnya diperlukan waktu yang lama dan suasana yang mendukung untuk membaca buku ini. Bila anda membacanya tergesa-gesa dan hanya mengambil inti cerita saja, anda akan melewatkan banyak keindahan—yang menjadi kekuatan utama buku ini.

Empat bintang untuk Doctor Zhivago, kuhadiahkan kepada Boris Pasternak yang—andai beliau masih hidup—tengah berulang tahun ke 122 tahun tepat pada hari ini, 10 Februari 2012!

Pada akhirnya, perang dan revolusi itu selalu menghasilkan penderitaan, namun toh keduanya diperlukan demi membangun sesuatu yang lebih baik di masa depan: kebebasan. Seperti yang dikatakan Boris Pasternak dalam epilog:

“Although victory had not brought the relief and freedom that were expected at the end of the war, nevertheless the portents of freedom filled the air throughout the postwar period, and they alone defined its historical significance.” ~hlm. 544.
versi film th. 1965 dengan Omar Sharif sebagai Dr. Zhivago & Julie Christie sebagai Lara

Judul: Doctor Zhivago
Penulis: Boris Pasternak
Penerbit: Pantheon Books, Inc.
e-book source: The New American Library
Terbit: unknown
e-pages: 615 hlm
I think you would agree with me, that Christmas is the most festive days in a year—whether you celebrate it or not. Christmas is identical with sparkling of lights, thus representing a season full of laughter and joy. It’s hard to not being happy during Christmas, why, with all the cakes, ornaments, gifts…and holiday of course! But, it does not work out the same for a sour and stingy man named Scrooge. Well, sometimes name does speak of everything about a man, right?

Scrooge dedicates his life solely for his business. He doesn’t care about Christmas; he even hates Christmas because it is a time when he cannot make much money. So, on that day before Christmas he rejected his nephew’s invitation for a family Christmas dinner, then rejected a man who asked for donation and sent him away. He also scowled at his clerk who asked for a half day off, and instead asked him to come earlier on Christmas day! What a miserly man...scrooge!

But on that eve of Christmas, Scrooge got a surprise. His late business partner who has passed away seven years ago—Marley, ‘came’ visiting Scrooge at his apartment. When approaching his room, Scrooge saw a shadowy image of Marley’s face on his door knocker… It’s a phantom! Marley’s ghost! At first Scrooge got scared, and all he would have said is: “Humbug!”, meaning ‘nonsense’, which seems being one of Scrooge’s favorite word! However, it did not take too long before the phantom made Scrooge believe in it. But why did Marley haunt his ex-partner?
the illustration of Marley's ghost and Scrooge

Apparently, Marley wanted to tell his friend that he regretted what he had not done during his short life, years ago. Marley did not realize then, that the most important thing in life was not business and wealth, and that he had misused his opportunity of life given to him. Now it is too late for him to reconcile them, not when he is only a ghost. So, Marley came to tell Scrooge that, in order to give him a second chance of life, Three Spirits would haunt him starting from the next night when the bell tolled One. It will be followed by the second and third visits the following consecutive nights at the same hour. And then...Marley's ghost faded...

In no time Scrooge fell a sleep, only to woke up abruptly when the bell tolled. Oops, it’s one o’clock already! And there it came, the first ghost who called itself The Ghost of Christmas Past. As promised by Marley, this ghost was followed by two more, The Ghost of Christmas Present and…. (can you guess from the pattern?)...The Ghost of Christmas Yet To Come! Each of them took Scrooge to different time sets of his life.

First, The Ghost of Christmas Past took Scrooge to his past life, three past Christmases. From these scenes, you will have clues to what might have changed Scrooge from once a lovable boy to the bitter man he is now. I think sometimes we ought also to review our own life like Scrooge did. That way we can see how far we have transformed from the kind and lovable child we used to be, to what we are at present. Then we will know what was going wrong with our life, so that we will be able to resolve it.

The second turn, The Ghost of Christmas Present took Scrooge to the lives of people surround him. First they visited Bob Cratchit's (the clerk) poor house. On that Christmas, Bob's son--Tiny Tim, was cripple and ill, and he might not be able to see the next Christmas, because his father cannot afford to buy the required medicament from his little salary. Nevertheless, they all live happily, love each other, and especially that night, they had a merry Christmas with what they can afford. The ghost also took Scrooge to his nephew Fred's Christmas party. The party Scrooge had rejected the invitation earlier that day. The party which turned out to be very entertaining, that Scrooge himself enjoyed the games and the singing. Of course, out of the sights of the others!

The most terrifying part of this book is, perhaps, the visit of The Ghost of Christmas Yet To Come. Taking the form of a black hooded spirit, The Ghost of Christmas Yet To Come showed Scrooge things that were going to happen in the future. Things that scared Scrooge enough to promise that he will change his life. What scenes had Scrooge seen this time? And did those Three Spirits succeeded in convincing Scrooge to resolve his life? And how will he do that? Will he still get a chance to have a very merry Christmas?

This story is really simple. Dickens wants to remind us about love, passion, warmth, and kindness that are the true value of Christmas. But above that, Dickens also wants to show us that Christmas is not just about prosperity (expensive gifts, luxury hotels, fine foods), but more on the charity, acceptance and forgiveness. On the other hand, a party will bring joy only when you enjoy it among your loved ones. The atmosphere of British traditional Christmas in 19h century has been beautifully described with all the details in this book. This book is also included in the 50 Books That Changed The World (by Andrew Taylor), for creating the basic of Christmas tradition that is continuing until now.

So in conclusion, there's nothing wrong with being a serious and responsible adult. But, don't be too carried away--like Scrooge, that you forget the love and tenderness in you. It’s OK to be childish sometimes! Especially on a special day like Christmas....

Four stars for Charles Dickens' A Christmas Carol.

-----

This time I read an e-book version (no translation is available yet). I like it, but unfortunately it doesn't come with an attractive cover (the one I put here is the color version). I searched through Goodreads and found two lovely covers that I think would be most suitable for this book. Here they are..


Hopefully one of our publishers will publish the translated version of this book in one of these covers!

Finally, have a merry Christmas for you who celebrate it, and a happy new and prosperous year of 2012!

Title: A Christmas Carol
Author: Charles Dickens
Publisher: Sony Connect Inc.
e-book source: The Pennsylvania State University, 1998
Published: 2007
e-pages: 100
 
Source :  http://klasikfanda.blogspot.com/search/label/e-book

No comments:

Post a Comment